peran pendidikan

Sabtu, 26 Maret 2011

PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PERKEMBANGAN RELIGIUSITAS ANAK
Makalah ini Disusun Guna Sebagai Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu : Bu Susilaningsih. M A








Disusun Oleh :
RENI SUSANTI
08410202

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang masalah
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adi kodrati memang memiliki latar belakang sejarah yang sudah lama. Para agamawan yang ada memperkuat hubungan tersebut. Karenanya hubungan manusia dengan tuhan menurut pandangan agamawan adalah hbungan yang bersifat kodrati, bukan hasil rekayasa yang bersifat artifisialis.
Usia anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menetukan bagaimana selanjutnya di masa yang akan dating. Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religious, santun, dan ringan tangan (suka membantu) terhadap persoalan social dilingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religious) dan kepribadian.
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini, karena pendidikan agama sangat penting untuk perkembangan jiwa anak. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlak dapat mengarahkan perilaku anak ke perilaku anak ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak yang baik juga.
2. Rumusan masalah
a. Bagaimana perkembangan rasa agama pada anak?
b. Bagaimana peran pendidikan agama islam dalam perkembangan rasa agama anak?














BAB II
PEMBAHASAN

Rasa agama merupakan nilai-nilai agama yang masuk pada diri manusia sebagai produk yang mengikat dari proses mengalami dalam jangka waktu yang lama.
Dalam pendidikan agama islam manusia sewaktu dilahirkan telah dibekali oleh Allah SWT, dengan berbagai macam ketrampilan dasar atau potensi bawaan yang disebut “fitrah”. Termasuk didalamnya fitrah beragama. Menurut Robert Nuttin mengatakan bahwa dorongan beragama merupakan salah satu dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya seperti makan, minum, intelek, dan sebagainya. Yang tentunya dorongan agama sebagaimana dorongan-dorongan yang lainnya harus dipenuhi agar pribadi manusia menjadi puas dan tenang.
A. Karakteristik perkembangan rasa agama anak
Berdasarkan dengan kodrat tuhan, bahwa kehidupan manusia itu berkembang melalui proses setinkat demi setingkat. Demikian juga dengan kehidupan rasa agama. Rasa agama pada anak juga mengalami perkembangan melaui fase demi fase. Berdasarkan hasil analisis Ernest harm perkembangan agama pada anak-anak terdapat beberapa fase. Dalam bukunya the development of religious on children ia mengatakan bahwa perkembangan rasa agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:
1. The fairy tale stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tinkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tinkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantatis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolense. Pada masa ini ide ke-tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emotional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar
b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan)
c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
B. Sifat Agama Pada Anak
Usaha untuk memberikan pendidikan agama islam pada anak hendaklah didahului dengan pemahaman akan sifat-sifat keagamaan yang dimiliki oleh anak. Sehingga kekeliruan pendidikan agama yang diberikan kepada anak dapat dihindari. Walter Houston clark mengemukakan terdapat delapan sifat agama anak, antara lain:
1. Ideas accepted on authority.
Semua pengetahuan yang dimiliki anak semua dating dari luar dirinya terutama dari orang tuanya. Semenjak lahir anak sudah terbentuk untuk mau menerima dan terbiasa untuk mentaati apa yang disampaikan orang tua, karena dengan demikian akan menimbulkan rasa senang dan rasa aman dalam dirinya. Maka nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua pengganti dengan sendirinya akan terekam dan melekat pada anak. Dalam hal ini maka orang tua mempunyai otoritas yang kuat untuk membentuk religiusitas anak.
2. Unreflective
Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka jarang terdapat anak yang melakukan perenungan (refleksi) terhadap konsep keagamaan yang diterima. Pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap sebagai suatu yang menyenangkan, terutama yang dikemas dalam bentuk cerita. Oleh karena itu konsep tentang nilai-nilai keagamaan dapat sebanyak mungkin diberikan pada usia anak dan sebaiknya disampaikan dalam bentuk cerita.
3. Egosentric
Mulai usia sekitar satu tahun pada anak terkembang kesadaran tentang keberadaan dirinya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egosinya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih saying dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childist) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
4. Antromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa peri keadaan Tuhan itu sama denganmanusia. Pekerjaan tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
Surga terletak dilangit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggpa bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung kerumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
5. Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula sevcara verbal (ucapa). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang di ajarkan kepada mereka. Sepintas lalu kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesukaran. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu cirri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
6. Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan shalat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat penitu ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan agama dalam keluargag tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal.
Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata-mata berdasarkan yan mereka peroleh sejak kecil namun pendidikan keagamaan (religious paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behavior) melalui sifat meniru itu.
7. Spontaneous in some respects
Berbeda dengan sifat imitative anak dalam melakukan perilaku keagamaan, kadang-kadang muncul perhatian secara spontan terhadap masalah keagamaan yang bersifat abstrak. Misalnya tentang surge, neraka, tempat Tuhan berada, atau yang lainnya. Keadaan tersebut perlu mendapatkan perhatian dari orang tua atau pendidik agama, karena dari pertanyaan spontan itulah sebenarnya permulaan munculnya tipe primer pengalaman religiusitas yang dapat berkembang.
8. Wondering
Ini bukan jenis ketakjuban yang mendorong munculnya pemikiran kreatif dalam arti intelektual, tetapi sejenis takjub yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia baru yang terbuka di depannya. Bagi anak usia antara tiga sampai enam tahun, kejadian sehari-hari yang dianggap biasa oleh orang dewasa dapat menjadi sesuatu yang menakjubkan, misalnya keramaian lalu lintas, susunan kaleng warna warni di took, dan lain sebagainya. Suasana ketakjuban dan kegembiraan ini masih dapat terbawa pada usia dewasa, ketika seseorang memproyeksikan ide-idenya mengenai Tuhan dan ciptaanNya serta menemukan rasa ketakjuban di sana. Pada anak rasa takjub ini dapat menimbulkan ketertarikan pada cerita-cerita keagamaan yang bersifat fantastis, misalnya peristiwa mukjizat pada sejarah nabi-nabi, serta cerita kehebatan para sahabat dan pahlawan islam. Peristiwa-peristiwa itu akan terkembang bebas dalam alam fantasi anak yang akan dapat menjadi dasar kekaguman dan kecintaan pada Nabi dan sifat-sifat beliau.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan rasa agama anak
Secara garis besar faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan rasa agama anak antara lain ialah:
a. Faktor Intern
Perkembangan rasa agama anak selain ditentukan oleh factor ekstern juga di tentukan oleh factor intern antara lain ialah
· Faktor Hereditas
· Tingkat Usia
· Kepribadian
· Kondisi Kejiwaan
b. Faktor Ekstern
Potensi yang dimiliki manusia secara umum di sebut fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh yang berasal dari luar diri manusai. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, pelatihan, pendidikan, dan sebagainya yang secara umum di sebut sosialisasi.
Faktor yang di nilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan anak dapat dilihat dari lingkungan di mana seorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
· Lingkungan keluarga
· Lingkungan institusional
· Lingkungan masyarakat
D. Peran pendidikan agama islam pada perkembangan anak
Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan funsi-funsi psikis pada anak, ditunjang oleh factor lingkungan dan proses belajar dalam passage waktu tertentu, menuju kedewasaan. Perkembangan juga dapat diartikan pula sebagai prose transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter, dirangsang oleh factor-faktor lingkungan yang menguntungkan, dalam perwujudan proses aktif- menjadi secara continue.
Sebagaimana yang di sadur oleh susilaningsih, mengatakan bahwa penanaman nilai-nilai keagamaan (pendidikan agama) yang meliputi masalah akidah (konsep tentang ketuhanan), ibadah dan akhlak (nilai-nilai moral) yang berlangsung semenjak usia dini dapat membentuk jiwa keagamaan anak mengakar secara kuat dan mempunyai pengaruh sepanjang hayat.
Pentingnya pendidikan agama islam di tanamkan semenjak usia anak adalah supaya yang menjadi dasar atau warna pertama yang berpengaruh masuk dalam diri anak adalah nilai-niali yang berasal dari agama islam.
Pada anak tingkat dongeng dapat kita gunakan untuk merespon fantasi dan anak emosi anak. Walaupun tanggapan anak belum menunjukkan hasil yang signifikan, namun hal ini dapat menumbuhkan dan merangsang daya piker anak. Dengan pelatihan membaca bacaan al-Qur’an serta menghafal surat-surat pendek, dalam al-qur’an, anak akan mengenal pelajaran baru yang berkaitan dengan agamanya . salah satu pendukung dalam hal ini adalah anak mengikuti TPA di masjid agar ia dapat belajar dengan dengan baik. Dan dapat berinteraksi dengan kawan sebayanya. Pada tahap berikutnya menunjukkan bahwa anak mulai dapat berfikir realitas. Sehingga ini merupakan fase yang sangat penting bagi pendidik maupun orang tua untuk bagi pendidikmaupun orang tua untuk meningkatkan pemberian ajaran-ajaran agamanya. Karena anak akan mengalami ketertarikan yang signifikan terhadap apa yang diakukan oleh di jarkan oleh orang-orang disekitarnya.
a. Pendidikan Akidah Pada Anak
Bagi orang tua yang akan menanamkan pendidikan aqidah atau keimanan pada anaknya yakni orang tua tidak perlu mamaksa anak untuk memahami lebih jauh tentang konsep keimanan, tetapi yang lebih utama adalah mengenalkan tuhannya, yakni allah swt, kalimat tauhid, yang kesemuanya itu dipraktekkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pendidikan Ibadah Pada Anak
Bagi orang tua yang dalam memberikan pendidikan pada anak adalah menciptakan suasana keluarga yang penuh kegiatan-kegiatan agamis. Karena dalam usia anak, anak akan menirukan apa yang dilihatnya dan didengarkan.

BAB III
PENUTUP

Rasa agama merupakan nilai-nilai agama yang masuk pada diri manusia sebagai produk yang mengikat dari proses mengalami dalam jangka waktu yang lama.
Pentingnya pendidikan agama islam di tanamkan semenjak usia anak karena anak dilahirkan hanya membawa potensi maka supaya yang menjadi dasar atau warna pertama yang berpengaruh masuk dalam diri anak adalah nilai-nilai yang berasal dari agama islam, sehingga nilai-nilai itu bisa masuk dalam diri anak tersebut, dan nilai tersebut dapat menjadi kristal nilai pada anak dan akan di kembangkan dalam fase kehidupan selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini. 1990. Psikologi Perkembangan. Mandar Maju: Bandung
Jalaludin. 2002. Psikologi Agama. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta
Susilaningsih. 1994. Makalah diskusi Perkembangan Religiusitas pada Usia Anak.
http: //rikhanfuadi.blogspot.com/2009/12/psikologi-anak dan remaja.html

transformasi budaya

PENDIDIKAN SEBAGAI TRANSFORMASI BUDAYA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen pembimbing : Ibu Istininingsih




Disusun oleh
Umi Kholidah 07410004
Aziz Al Bari K 08410120
Sucipto 08410189
Naely Maghfiroh 08410198
Reni Susanti 08410202


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2009
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan sangat penting bagi kita, karena melalui pendidikan kita bisa mengetahui baik, buruk, dan melalui pendidikan juga kita mengenal budaya. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Karena antara pendidikan dan budaya terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama ialah nilai-nilai. Kebudayaan mempunyai tiga unsure penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan, kebudayaan suatu proses, dan kebudayaan yang mempunyai visi tertentu maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses pembudayaan. Dengan demikian tidaka ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tidak ada suatu pendidikan tanpa kebudayaan dan masyarakat. Oleh karena alasan-alasan tadi pemakalah ingin mengetahui:
Bagaimana pendidikan di jadikan sebagai alat transformasi budaya? BAB II
PEMBAHASAN
I. Hakikat Pendidikan dan Kebudayaan
Hakikat budaya di kategorikan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan epistimologis dan pendekatan ontology atau metafisik. Pendekatan tentang hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Pendidikan itu bukan hanya suatu kata benda tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja.
Menurut Edward B. Tylor, “budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan merupakan suatu proses permanusiaan artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi,. Proses pendidik sebagai suatu proses kebudayaan haruslah melihat peserta didika suatu entity yang terpecah-pecah tetapi sebagai individu yang menyeluruh atau sebagai seorang manusia seutuhnya.
Budaya dicapai manusia melalui proses panjang, melalui pendidikan, melalui sosialisasi sehingga diperoleh internalisasi nilai yang menjadikan sesuatu nilai itu menjadi satu dengan dirinya, menjadi cara berfikirnya, menjadi kebiasaannya, menjadi miliknya yang diaktualisasi secara spontan dalam kehidupan nyata.

II. Budaya dalam pendidikan
a. Wawasan budaya dalam pendidikan
Wawasan budaya dari pembangunan kita adalah
1. Budaya adalah dari dan untuk manusia
2. Dengan budaya manusia membangun masyarakat dan lingkungan
3. Dengan budaya manusia membangun pendidikan
4. Pendidikan melalui budaya terjadi secara kontekstual
5. Pendidiakan melalui budaya terjadi melalui proses
6. Membenagun manusia melalui budaya harus melibatkan fisik, akal dan hati
7. Membangun manusia melalui budaya, maka nilai-nilai budaya itu harus menyatu dengan dirinya manjadi nuansa batinnya, manjadi sikap dan perilakunya serta yang menjadi dasar cara berfikirnya
8. Pembangunan melalui kebudayaan berarti berkelanjutan yang bersifat konvergen
b. Pendidikan dan Proses transformasi Budaya
Pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak dapat dipisahkan. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
Untuk membangun manusia melalui budaya maka nilai-nilai budaya itu harus menjadi satu dengan dirinya, untuk itu diperlukan waktu panjang untuk transformasi budaya. Proses transformasi budaya dapat dilakukan dengan cara mengenalkan budaya, memasukkan aspek budaya dalam proses pembelajaran. Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan maka tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional saja, tetapi juga seluruh unsure kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Progam pendidikan berbudaya dapat diwujudkan secara efektif di dalam system pondok. System pondok merupakan sarana untuk mempersatukan pendidikan ilmu pengetahuan dengan pendidikan budaya budi pekerti serta nilai-nilai budaya lainnya. Pelaksanaan system pondok jjuga dapat berarti mengembangkan kondisi dan suasana kepondokan di dalam praksis pendidikan. Khusus guru system pondok tersebut mungkin merupakan suatu tuntutan. Dengan system tersebut calon pendidikan akan menghayati suatu tuntutan. Dengan system tersebut para calon pendidik akan dapat melaksankan prinsip-prinsip kebudayaan di dalam praksis pendidikan.

IV. Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan (enkulturasi).
Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya yang diperoleh selama proses belajar sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari.
Jika kita ingin memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak kebudayaan sendiri, malahan menghianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Nilai-nilai pendidikan ditransmisikan dengan proses-proses “acquiring” melalui “inquiring”. Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau untuk determined tetapi melalui proses interaktif antara pendidikan dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya.
Ada pakar yang menganggap bahwa antara kebudayaan dan pendidikan saling berpengaruh artinya yaitu bahwa manusia yang berpendidikan adalah sama dengan orang yang berbudaya.
Dengan budaya proses pendidikan juga akan lebih mudah karena mempelajari budaya dapat menumbuhkan kesadaran etik, kesusialaan, dan norma hokum. Jadi peserta didik akan lebih mudah menerima karena mereka mempunyai kesadaran untuk mengikuti proses pendidikan dengan tulus tanpa perlu dipaksaan.
IV. Proses Pembudayaan melalui PendidikanFormal
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together).

BAB III
PENUTUP
Setelah tadi penulis menguraikan penjelasan tentang pendidikan sebagai atransformasi budaya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan sangat penting bagi pentransferan budaya. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Manusia yang tidak mengenal budaya sama saja tidak mengenal bangsanya sendiri. Oleh karena itu kita harus melestarikan dan menjaga budaya dengan cara dalam proses pendidikan di masukkan unsure-unsur budaya. Jadi marilah kita memasukkan unsure-unsur budaya dalam proses pendidikan agar out put dari pendidikan tidak hanya pengetahuan saja tapi siap untuk hidup dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Ø Djohar. 2006. Pengembangan pendidikan nasional menyongsong masa depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah
Ø Mulkhan, A. Munir. 2002. Nalar spiritual pendidikan solusi problem filosofis pendidikan agama islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Ø Tilaar. 2002. Pendidikan kebudayaan dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Ofset
Ø http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/17/khazanah/lainnya01.htm
Ø http://www.semipalar.net/artikel/artikel27.html
Ø http://cabiklunik.blogspot.com/2009/11/apresiasi-pendidikan-sebagai-strategi.html

.

keadilan dalam Al-Quran

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia terlahir menjadi tidah hanya menjadi makluk individu tetapi juga makhluk sosial, maka dalam hidup manusia menginginkan untuk hidup di dalam masyarakat yang menjujung keadilan. Karena dengan keadilan akan tercipta suatu kehidupan dimana anggota-anggotanya hidup rukun, saling membantu, dan saling membutuhkan. Tidak ada yang berbuat zalim dan tidak pula di zalimi. Keadilan merupakan syarat terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat, serta jalan menuju kebahagiaan hakiki di akhirat.
Menegakkan keadilan bukanlah hal yang mudah, karena keadilan menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu dalam makalah ini akan disampaikan konsep-konsep keadilan berdasarkan Al-Qur’an, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana Al-Qur’an sangat menjunjung tinggi akan keadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Keadilan
Secara bahasa keadilan adalah berasal dari kata “adil” yang diambil dari bahasa arab “adil”. Kamus-kamus bahasa arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immateriil. Persamaan yang merupakan makna kata “adil” itulah yang menjadikan perilakunya “tidak berpihak” dan pada dasarnya seseorang yang adil “berpihak pada kebenaran”. Karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi tidak sewenang-wenang.
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain pun mempunyai hak hidup seperti itu. Jika kita mengakui hak hidup orang lain, kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain itu untuk mempertahankan hak hidupnya, sebagaimana kita mempertahankan hak hidup kita sendiri. Jadi keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.
Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.
Keadilan dalam Al-Qur’an diungkapkan antara lain dengan kata al-‘adl, al-qisht, dan al-mizan. Al-‘adl yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih, karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi persamaan. Kata al-‘adl dengan semua kata turunannya terulang dalam al-Qur'an sebanyak 35 kali.
Al-qisht arti asalanya adalah “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidah harus mengantarkan adanya “persamaan” dan “bagian” dapat diperoleh melalui satu pihak. Karena itu, kata al-qisht lebih umum dari kata ‘adl karena itu qisht itulah yang digunakan. Lafad "al-qisht" terulang sebanyak 24 kali. Perbedaan ‘adl dan qisht juga diungkapkan dalam ayat Al-Qur’an yakni kata al-Qisht digunakan dalam Al-qur’an sebagai kata yang ditunjukkan untuk mmaknai adil yang menunjukkan zat Allah. Seperti tertera dalam QS Ali imron:18. Sedang kata “adl yang didalam Al-Qur’an tertera 35 kali tidak ada yang satu pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifatnya.
Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).

B. Faktor Yang Menunjang Keadilan
Faktor-faktor yang menunjang keadilan antara lain:
a. Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan. Karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam mengambil putusan.
b. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif.
Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.
Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya. Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18). Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun".(Ali Imran [3]:192).
Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim.
a. Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
b. Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah, curang dan culas.
c. Pengaruh luar, adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian, kewibawaan, kefasihan pembicaraan, dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyilaukakn perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif. Oleh krena itulah dapat disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa factor, diantaranya:
1) Kondisi orang tersebut pada saat itu
2) Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
3) Latar belakang cinta dan benci
4) Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
5) Adanya pengaruh dari luar (ekstern)

C. Keadilan Sosial
Al-Qur’an menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan sosial adalah keadilan. Seperti yang tertera dalam QS An-nahl: 90
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Menurut Imam Ali keadilan itu berbeda dengan kebajikan, keadilan adalah menempatkan sesuatu kepada tempatnya, sedangkan kebajikan adalah kedermawanan yaitu menempatkan dirinya bukan pada tempatnya.
Keadilan sosial bukan berarti mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mendefinisikan keadilan sosial adalah kerja sama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keadilan sosial merupakan mempersamakan masyarakat pada tataran mendapatkan hak dalam mendapatkan penghidupan yang layak dalam masyarakat dengan cara bekerja keras serta melaksanakan kwajiban untuk menghormati anggota lain untuk mendapatkan haknya.
D. Perhitungan dan pembalasan
a. Hisab, puncak penerapan keadilan illahi
Allah SWT memiliki sifat kesempurnaan. Salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya ialah keadilan dan kebijaksanaan. Dia adalah Maha Adil dan tidak akan menganiaya ataupun merugikan seseorang pun dari seluruh makhluknya. Dia maha Bijaksana, maka Dia tidak akan meletakkan sesuatu itu bukan pada tempatnya.
Setengah dari keadilan dan kebijaksanaan Allah SWT adalah bahwa Dia tidak akan mempersamakan antara orang yang berbakti dan taat dengan orang kafir dan durhaka, antara orang mukmin dan orang orang musyrik, juga antara orang yang berbuat baik dan berbuat buruk dan seterusnya. Sebabnya ialah mempersamakan antara dua macam golongan sebagaimana diatas merupakan penganiayaan yang luar biasa serta kekurangan akal yang melampaui batas ketentuan sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Jatsiah:21-22.
Apakah orang-orang yang membuat kesalahan-kesalahan itu mengira bahwa Kami (Allah) akan menyamakan mereka dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik itu, yakni dipermakan dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya keputusan yang mereka adakan itu?
Allah itulah yang menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Setiap seseorang itu agar dapat dibalas menurut apa yang telah dilakukannyadan mereka itu tidak akan dianiaya (diperlakukan secara tidak adil). (Q.S Jatsiah: 21-22).
b. Perhitunngan dan pembuktian
Menghitung amalan-amalan dan mencatatnya ialah dengan perantaraan malaikat yang memang diserahi tugas untuk itu. Catatan iu akan dibagi-bagikan kepada pemiliknya masing-masing. Diantara mereka ada yang mengambil catatannya dengan tangan kanannya dan ini merupakan suatu tanda kegembiraan yang akan dapat dirasakan kenikmatanya, tetapi di antara mereka ada yang tidak kuasa mengambil dengan tangan kanannya, oleh karena itu terpaksa menggunakan tangan kirinya atau akan diterima dari balik punggungnya dan ini merupakan tanda keburukan dalam perhitungan amal atau hisab.
c. Allah yang menguasai pelaksanaan hisab
Allah SWT sendiri yang akan mengadakan perhitungan amal seluruh makhluk ini dan tidak perantaraan siapapun juga. Suatu hari ada orang yang bertanya: ya Amirrul Mukminin, bagaimana Allah akan melaksanakan hisab terhadap seluruh umat manusia ini dalam satu waktu saja? Beliau lalu menjawab: “itu tidak ubahnya dengan member rizki kepada seluruh manusia dalam satu waktu dan mereka meminta dalam satu waktu pula”.




BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan diatas kita dapat mengetahui bahwa keadilan sangat penting dalam berbabagai aspek kehidupan manusia. Bahkan Nurcholis Madjid mengatakan makna Keadilan merupakan ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.
Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia telah memberikan tuntunan kepada kita agar senantiasa berbuat baik dan berbuat adil dalam setiap aspek kehidupan. Tuntunan-tuntunan itu hanya bersifat teoritis, dan kita yang akan merealisasikannya dalam kehidupan kita agar tercipta kehidupan yang sejahtera.



Daftar Pustaka
Notowidagdo, Rohiman. 1997. ilmu budaya dasar berdasarkan al-qur’an dan hadist, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.html
Shihab, M. Quraish 2007. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan

pendidikan multikultural

Pendidikan Multikultural
makalah ini Disusun Guna Sebagai Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Muh Qowim







Disusun Oleh :
Reni susanti 08410202
Naely magfiroh 08410198
Husni mubarok 08410069
Sudarno 08410277
Luk luk jauwahiriyah 08410236
Edy hermawan 08410074

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Heterognitas merupakan fenomena yang sunatullahdan tidak daapat kita pungkiri bahwa dalam setiap sesututu terdapat keberaneka ragaman. Suatu negara di dalamnya pasti terapat beraneka ras, suku dan keberanekaan lainnya yang pada akhirnya melahirkan keberanekaan pula dalam berbagi aspek kehidupannya yang lazim disebut multicultural atau keberanekaan kebudayaan. Keberanekaan tersebut dapat berupa keberanekaan pandangan kehidupan, adat kebiasaan, bahasa, bahkan dalam pendidikan.
Suatu wacana yang perlu kita respon secara positif adalah pendidikan multikulturalisme. Sebuah gagasan positif bila pendidikan multikukturalisme dilaksanakanb berangkat dari tujuan umum pendidikan yang notabene bukan hanya sebuah transformasi ilmu pengetahuan, meliankan juga proes internalisasi nilai. Selain itu, pada prinsipnya setiap orang memiliki kebebasan dalm hal pemerolehan ilmu pengetahuan tanpa adanya suatu diskriminasi dan subordinasi suatu golongan tertentu yang mana hgal tersebut dapat tercapai dengan pendidikan multikulturalisme.
Maka dalam makalaj ini pemakalah mencoba kembali membuka ruamg diskusi terkait wacana pendidikan multikulturalisme guna memnadapatkan solusi positif dalam merespon wacana tersebut.






BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Pendidikan Multikulturalisme

Hakekat manusia adalah berada dalam ruang kemanusiaan,yang mana tidak lain adalah kebudayaan manusia yang terbentang dalam ruang dan waktu. Tidak ada masyarakat tanpa budaya,sehingga pendidikan dan kebudayaan merupakan kesatuan eksistensial.
Proses pendidikan tidak dapat redusir sebagai proses yang terjadi dalam suatu lembaga sekolah,tetapi sekolah sebagai lembaga social merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Dengan kata lain pendidikan ada bila ditempatkan pada lingkungan kebudayaan suatu masyarakat,dan inilah perspektif studi cultural mengenai pendidikan.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang multicultural maka melalui proses pendidikan itulah akan terwujud,kebenaran ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, keberagaman dalam beragama, etnis, bahasa. budaya, kemampuan, ras dsb.1 Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama, dan budaya(kultur)2. Karena pendidikan ini adalah menghargai heterogeneritas dan pluralitas maka yang terpenting adalah tujuan dalam strategi pembelajarannya siswa mudah mempelajari dan memahami sehingga meningkatkan kesadaran agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis3. Dalam paradigma multicultural dituntut untuk berpegang pada prisip-prinsip berikut:
1.Pendidikan multilkultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan perspektif pluralistic
2.Pendidikan multicultural harus berpijak pada pandangan bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah
3.Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan kebhinekaan perspektif cultural
4.Pendidikan multicultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras,kultur, agama.
Tuntutannya kepada pendidik adalah menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multicultural sehingga tidak hanya menguasai dan professional saja. Sehingga diharapkan dengan implementasi ini visi misi dapat tercapai sehingga menjadi generasi yang menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian humanistic dan kejujuran dalam perilaku sehari-hari. Pada akhirnya meminimalisir permasalahan bangsa karena mencetak generasi multicultural yang menghargai perbedaan, selalu menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.
B.Latar Belakang pendidikan Multikulturalisme
Yang melatar belakangi adanya Pendidikan multicultural adalah keberadaan masyarakat dengan indiviu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku, agama, gender, dan kelas social. Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latarbelakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan(James A. Blank, 1989:14). Dalam konteks Indonesia peerta didik di berbgai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa dan budaya. Asumsi ini di angun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa local, 13000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryo dinata, Dkk 2003) paling tidak keberagaman siswa di embaga-lembaga pendidikan terdapat pada paham keagamaan aviliasi politik tingkat social ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya.
Pendidikan multicultural merupakan gerakan reformasi pendidikan di Amerika yang muncul dan berkembagn berlatar belakang perjuangan hak-hak kaum sipil afro-amerika di tahun 60-an. Perubahan demografi masyarakat populasi imigran memberikan signifikansi ekses pada lembaga pendidikan. Gerakan reformasi pada dunia pendidikan mengupayakan transformsi pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua orang akan menikmati akses yang sama untuk menikmati pendidikan. Secara historis pendidikan multicultural sebagai sebuah konsep pada awalnya sangat bias karena memiliki keterkaitan dengan pejuangan Ham dari kelompok marginal di amerika. Gerakan ini karena diskriminasi social afro-amerika dengan warna kulitnya dan lembaga lainnya salah satunya adalah lembaga pendidikan. Konsep ini menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di jenewa dengan menyeru:
1. Pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima system nilai dalam kebhinekaan pribadi,jenis kelamin,ras,etnis dan kultur.
2.Pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memerkokoh perdamaian,persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat.
3. Pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai.
4. Pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.
Perkembangannya sekarang menyebar ke seluruh Negara yang mempunyai kebhinekaan etnis,ras,budaya dsb termasuk Indonesia. Paradigma multicultural juga tertera pada pasal 4 UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasoinal4, dan juga pada UU Sisdiknas juga menjabarkan tentang tujuan pendidikan multicultural. Ini adalah salah satu bukti bahwa satu concern Indonesia dalam pendidikan multikulturalisme.

C.Paradigma Pendidikan Multikultural

Berangkat dari paradigma P. Freire yaitu: konservatif, liberal dan kritis yang mempengaruhi proses pendidikan, sehingga paradigma multicultural berangkat dari heterogenitas dan pluralitas yang mampu mengakomodir heterogenitas tsb. Sehingga munculah paradigma, teosentrisme5, kosmosentrisme6, antrosentrisme7. Paradigma sinergitas adalah yang paling kontanibel dalam model pendidikan multicultural karena menggunakan ke tiga paradigma tsb sebagai kesatuan system sudut pandang. Dengan adanya paradigma sinergitas ini maka,seperti parsialisasi, perbedaan etnis,budaya ,bahasa,agama dll dapat dihilangkan dengan bersih. Dengan adanya paradigma ini maka segala bentuk pendidikan yang berbau tidak memanusiakan manusia, seperti eksploitasi pendidikan,kapitalisme pendidikan, komersialisasi pendidikan, kanibalisasi pendidikan dan segala bentuk diskriminasi pendidikan harus ditinggalkan.

D.Orientasi Pendidikan Multikulturalisme8
Pendidikan mutikulturalisme mencoba mengantisipasi berbagi perbedaan yang ada. Orientasi yang dibangun daqn dipertahankan dalam pendidikan multikulturalisme adalah :
1.Orientasi kemanusiaan, humanism yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan besifat universal, global, jauh dari sifat ekspliotatif, dominatirf, serta kompetitif yang sebebas-bebasnya.
2.Orintasi kebersamaan, yaitu nilai koopratif yang sangat mulia dalam masyrakat plural dan heterogen.
3.Oriantasi kesejahteraan, welfarisme yng merupakan sebuah kondisi yang diharapkan adanya kesadaran diri tanpa ada paksaan.
4.Orientasi proporsional, aspek ketepatan, tepat landasan tepat proses, dan tepat tujuan.
5.Orientasi mengakui pluralitas dan heterognitas.
6.Orientasi anti hegemoni dan dominasi.

E.Menuju Pendidikan Islam Mulltikultur
Di era multikulturalisme dan pluralism ini, Pendidikan Islam sedang mendapatkan tantangan karena belum mampu melepaskan peserta didik dari eksklusifitas beragama. Doktrin selalu diajarkan di kelas tanpa dibvarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan Islam sangat ekslusif dan tidak toleran padhal di era pluralism dan multikulturalisme ini pendidikan Islam semestinya melakukan reorientasi filosofis paradigmatic tentang bafaiman membentuk kesadaran peserta didiknya bewajah inklusif dan toleran.
Kondisi pendidkan islam yang cenderumg eksklusif ini seringkali melahirkan Islam radikal yang cenderung agresif terhadap pihak lain yang kadang kadang scara tidak langsung merugikan Islam sendiri. Oleh karena itu, tugas berat bagi kit menyiapkan generasi umat yang bebas dari konflik dan kekerasan. Dan disinilah pendidikan dianggap sebagai instumen penting dalam menyiapkan generasi umat bergama yang bebas konflik.

























BAB III
PENUTUP

Sebagai penutup makalah ini, pemakalah akan menarik kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah didpaparkan. Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1.Heterogenitas dan multicultural merupakan sunatullah yang perlu kita respon secara positif, termasuk pula pendidikan multikulturalisme.
2.Memformat kembali pendidikan Islam merupakan tugas kita, terutama terkait isu pendidikan multicultural ini karena kesalahan dalam mengkonsep pendidikan akan melahirkan output pendidikan yang tidak benar pula.
Demikian kesimpulan yamg dapat ditark dari seluruh penjelasan yang dipaparkan. Akhirnya pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari baik, maka pemakalah selalu terbuka menerima saran dan kritik dari pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
PRESMA UIN Sunan Kalijaga. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Arr Ruzz
UU No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan multicultural cross-kultural untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta

H.A.R. Tilaar.2004.Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari Perspektif Study Kultural,Magelang :Indonesia Sejahtera

Masour Fakih dkk.2001.Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis,

profesionalisme guru

PROFESIONALISME GURU DALAM PEMBELAJARAN PAI
DI MAN PURWOREJO
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu sentral actual yang dibicarakan oleh pakar terutama di tingkat pejabat pemerintah adalah masalah pembangunan sumber daya manusia. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan tugas besar dan berjangka waktu panjang karena masalahnya menyangkut masalah proses pembelajaran dimana kunci pokoknya adalah profesionalisme guru karena guru sebagai sentral dalam proses pembelajaran dan ditangan gurulah terletak sukses tidaknya proses pembelajaran. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pembangunan pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan salah satu yang menjadi prasayarat adalah mengangkat kualitas tenaga edukatifnya, yaitu guru. Guru sebagai salah satu sub komponen input instrumental merupakan bagian dari system yang akan sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Ini berarti bahwa sukses tidaknya pendidikan terletak pada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran terletak pada mutu guru. Sebagai suatu proses profesi, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
1. Guru sebagai pengajar
Guru sebagai pengajar bertugas merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam hal ini guru dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, disamping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkannya.
2. Guru sebagai pembimbing
Guru sebagai pembimbing bertugas memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek mendidik, sebab tidak hanya berkenaan dengan pennyampaian ilmu pengetahuan, tetapi juga menyagkut kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa.
3. Guru sebagai administrator kelas
Pada hakikatnya tugas ini merupakan jalinan antara keterlaksanaan bidang pengajaran dan keterlaksanakan pada umumnya. Namun demikian, ketatalaksaan bidang pengajaran lebih menonjol dan lebih diutamakan bagi profesi guru
Begitu berat namun mulia tugas yang diemban oleh guru. Dari sini dapat dinilai bahwa keberadaan guru sangat penting dalam dunia pendidikan, dimana pendidikan merupakan jalan untuk meninggalkan keterbelakangan.
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia pada umumnya dan PAI pada khususnya harus benar-benar diserahkan kepada orang-orang yang punya kemampuan dan kualifikasi. Karena keberadaan guru, apalagi guru PAI tidak bisa digantikan oleh sumber-sumber belajar yang lain, karena guru PAI tidak hanya transfer of knowledge saja, tetapi juga transfer of values.
Guru yang dinyatakan kompeten dibidang tertentu adalah guru yang menguasai kecakapan dan keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Guru sebagai jabatan professional di bidang pendidikan dengan sendirinya dituntut memiliki keahlian, pengetahuan dan keterampilan tertentu yang biasa disebut dengan kompetensi guru menurut Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005 an peraturan pemerintah NO. 19/2005 dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi:
a. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
b. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogic meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
c. Kompetensi professional
Kompetensi professional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.
d. Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidikan, orang tua/wali peserta didik dan mayarakat sekitar.
Mengingat begitu pentingnya posisi guru dalam pembelajaran, maka diperlukan juga guru yang profesional. seorang guru yang professional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal antara lain memiliki kualifikasipendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunnyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus melalui organisasi profesi.
Apa yang telah diuraikan di atas terkait dengan Madrasah laiyah Negeri Purworejo yang merupakan lembaga pendidikan yang berciri khas islam yang bernaung di bawah Depag, merupakan madrasah yang telah lama berdiri. Demikian juga dalam mengangkat tenanga pengajar, terutama gur PAI di MAN Purworejo juga memiliki kemampuan dasar profesionalisme keguruan yang menjadi tolak ukur kinerja sebagai pendidik professional.
Keberadaan guru PAI di MAN Purworejo menarik untuk diteliti berdasarkan informasi yang didapat peneliti, bahwa di madrasah tersebut masih terdapat guru yang mengajar bidang study PAI tetapi tidak mempunyai kualifikasi pendidikan guru PAI.
Hal itulah yang peneliti anggap menarik dan memotivasi untuk melakukan penelitian di Man Purworejo. Maksud penelitian ini untuk mengetahui bagaimana professional guru dalam pembelajaran PAI di MAN Purworejo?
B. Rumusan masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana professional guru dalam pembelajaran PAI di MAN Purworejo?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
Untuk mengetahui profesionalisme guru PAI di MAN Purworejo
2. Kegunaan dari penelitian tersebut adalah
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi khasanah ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi lembaga pendidikan pada umumnya dan bagi pihak-pihak yang mempunyai kompetensi dan tanggung jawab pendidikan
b. Sebagai sumbangan pemikiran dan pertimbangan bagi pihak sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran PAI di MAN Purworejo.
D. Kajian Pustaka
Yang dimaksud dengan tinjauan pustaka pada sub bab ini adalah diskripsi tentang perbedaan atau kekhususan penelitian ini dari penelitian-penelitian lainnya yang telah di lakukan oleh peneliti lain.
Sejauh yang penulis ketahui, memang sudah ada karya tulis yang meneliti dan mengkaji profesionalisme guru, diantaranya dari jurusan PAI yaitu skripsi Skripsi Leni Fidawati tahun 2002 berjudul “profesionalisme guru taman kanak-kanak dalam pengajaran pengembangan PAI di taman kanak-kanak budi mulia dua pandean sari Yogyakarta”. Yang membahas tentang profesionalisme guru TK dalam pengajaran pengembangan Agama Islam telah memenuhi persyaratan kompetensi keguruan sehingga berpengaruh positif pada pengembangan sikap anak baik di rumah maupun disekolah.
Skripsi Tatik Isbandiyah tahun 2005 berjudul “Profesionalisme guru dan aplikasinya dalam pengajaran PAI di SLTP N 2 Purwoasri Kediri” yang membahas tentang kompetensi profesionalisme dengan aplikasi pendidikan agama islam dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Skripsi tersebut diatas memang member tempat pembahasan profesionalisme guru didalamnya, nemun dari hasil penelitian di atas belum ada yang secara spesifik membahas tentang profesionalisme guru PAI di sekolah. Oleh karena itu, penulis berusaha mengadakan penelitian mengenai hal tersebut karena profesionalisme guru merupakan hal yang sangat diperlukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Selain itu skripsi ini memiliki perbedaan di antaranya terletak pada tempat dan waktu yang berbeda.
E. Landasan Teori
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas dari pada pengertian mengajar. Mengajar bukan sekedar proses penyampaian ilmu pengetahuan, melainkan mengandung makna yang lebih luas, yakni terjadinya interaksi manusiawi dengan berbagai aspeknya yang cukup kompleks, oleh karena itu untuk memajukan pendidikan di Indonesia kita membutuhkan pengajar-pengajar yang professional.
Dalam penelitian ini penulis mencoba meneliti tentang profesionalisme guru PAI di sekolah, berikut diuraikan kerangka teoritik yang melandasi penelitian ini.
1. Pengertian Profesionalisme Guru
Istilah profesional pada umumnya adalah orang yang mendapat upah atau gaji dari apa yang dikerjakan, baik dikerjakan secara sempurna maupun tidak. (Martinis Yamin, 2007). Dalam konteks ini bahwa yang dimaksud dengan profesional adalah guru. Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Wina Sanjaya, 2008). Dengan demikian seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru ”a teacher is person sharged with the responbility of helping orthers to learn and to behave in new different ways”. (Copper, 1990)
Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Pada prinsipnya setiap guru harus disupervisi secara periodik dalam melaksanakan tugasnya. Jika jumlah guru cukup banyak, maka kepala sekolah dapat meminta bantuan wakilnya atau guru senior untuk melakukan supervisi. Keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisor antara lain dapat ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja guru yang ditandai dengan kesadaran dan keterampilan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dari pengertian di atas seorang guru yang profesional harus memenuhi empat kompetensi guru yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yaitu :
1. Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi:
a. Konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar.
b. Materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah
c. Hubungan konsep antar mata pelajaran terkait
d. Penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, dan
e. Kompetisi secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional

2. Kompetensi kepribadian, yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang
a. Mantap
b. Stabil
c. Dewasa
d. Arif dan bijaksana
e. Berakhlak mulia
f. Menjadi teladan dan peserta didik dan masyarakat
g. Mengevaluasi kinerja sendiri, dan
h. Mengembangkan diri secara berkelanjutan.

3. Kompetensi professional, yaitu merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi:
a. Konsep, struktur, dan metoda keilmuan/tekhnologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar
b. Materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah
c. Hubungan konsep antar mata pelajaran terkait
d. Penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan
e. Kompetisi secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional

4. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk:
a. Berkomunikasi lisan dan tulisan
b. Menggunakan tekhnologi komunikasi dan informasi secara fungsional
c. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik tenaga kependidikan, orang tua/wali, peserta didik; dan
d. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia.
2. Pendidikan Agama Islam
Dalam pendidikan islam yang menjadi tekanan utama adalah aspek moralitas atau aspek penanaman nilai keagamaan bukan aspek transformasi pengetahuan maka hal ini lebih tepat dikatakan sebagai pengajaran. Soleh karena itu menjadikan agama islam sebagai landasan hidup adalah suatu yang utama. Tujuan pendidikan islam, hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasikan identitas Islam.
Para pakar pendidikan islam telah sepakat bahwa tujuan pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum diketahui, melainkan:\\
a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka
b. Menanamkan rasa fadilah (keutamaan)
c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi
d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran.
F. Metode penelitian
Metode yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode penentuan subyek
Sesuai dengan masalah yang akan penulis teliti dalam tulisan ini maka subyek yang akan penulis teliti adalah:
a. Kepala sekolah
b. Guru Agama Islam
c. Siswa MAN Purworejo, tetapi karena jumlah populasi yang cukup banyak, maka penelitian ini menggunakan penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
d. Para karyawan lain yang dianggap penting.
2. Metode pengumpulan data
a. Observasi
Metode observasi merupakan suatu cara untuk menghimpun bahan-bahan keterangan atau data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara sistematis terhadapa fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.
b. Interview
Metode interview ini adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan Tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan muka dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan.
Dalam interview ini peneliti menggunakan interview bebas terpimpin dimana pertanyaan-pertanyaan yang akan disampaikan sudah dipersiapkan sebelumnya dan penyampaiannya tidak terikat dengan nomor urutdari pedoman interview.
c. Dokumentasi
Metode dokumntasi digunakan untuk memperoleh data tentang dokumen-dokumen MAN Purworejo, yaitu sejarah berdirinya, struktur organisasi, visi dan misi, keadaan guru, keadaan siswa, keadaan karyawan, sarana dan prasarana.
3. Metode analisis data
Untuk menganalisis data yang diperoleh, penulis menggunakan
a. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan ada tiga yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi.
b. Reduksi Data
Setelah data lengkap, maka akan dilakukan penyeleksian, pengabstrakan dan penyederhanaan data yang diperoleh dari lapangan
c. Penyajian Data
d. Setelah reduksi data selesai, kemudian data dianalisis dan disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang mempermudah pembaca dalam memahami isi dari penelitian yang dilakukan.
e. Kesimpulan
Setelah pengumpulan data, mereduksi data dan menyajikan data, kemudian data terkhir adalah meyimpulkan data hasil penelitian.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk menjabarkan tema study dalam skripsi ini agar bisa mengantarkan pada pemahaman dan gambaran yang mudah dimengerti, maka penyusun menggunakan sistematika pembahasan, sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan. Bab ini berisi enam bab yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi gambaran umum MAN Purworejo, yang meliputi letak geografis, sejarah berdiri dan perkembangannya, keadaan siswa, guru, dan karyawan,struktur organisasi serta sarana dan prasarana.
Bab ketiga yang merupakan hasil dari penelitian yang mengungkapkan tentang profesionalisme guru PAI di MAN Purworejo.
Bab empat merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup sebagai tanda bersyukur kepada Allah SWT, yang telah memberi kesehatan, rahmat, anugrah, kekuatan sehingga tulisan ini bisa terselesaikan.
Bagian terakhir memuat lampiran-lampiran, daftar pustaka, serta riwayat hidup penulis.
Demikian sistematika penulisan ini semoga bisa mempermudah pembaca untuk memahaminya.

DAFTAR PUSTAKA
· Sudijono, Anas.2001. pengantar evaluasi pendidikan, Jakarta:PT Raja grafindo Persada,
· Milles, matthew dan hiberman, A Michael, 1992.Analisis data kualitatif, terjemahan: Tjejep Rehandi Rohidi, Jakarta:UI Press
· Arifin, H M. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
· Al-Abrasyi, M.Athiyah, 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, bandung:Pustaka setia,
· Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:PN Rineka Cipta
· Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 & peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru dan dosen
· http//profesionalisme-guru-di-tahun-2009.html dari Harian Kompas, Kamis 22 Januari 2009
· “ Isjoni. http// profesionalisme-guru.html”
· Usman, Moh user. 1992. Menjadi guru professional. bandung: remaja rosdakarya
· Sarimaya, farida, 2008. Sertifikasi Guru, Bandung:yrama widya
· Djati Sidi, Indra. 2001. Menuju Masyarakat Belajar: (Menggagas Paradigm Baru Pendidikan) Jakarta: Logos
· Data guru MAN Purworejo tahun 2008
· Daradjat, Zakiah dkk, 1996. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: bumi aksara,

pendidikan multikultural


Pendidikan Multikultural
makalah ini Disusun Guna Sebagai Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Muh Qowim






Disusun Oleh :
Reni susanti 08410202
Naely magfiroh 08410198
Husni mubarok 08410069
Sudarno 08410277
Luk luk jauwahiriyah 08410236
Edy hermawan 08410074


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Heterognitas merupakan fenomena yang sunatullahdan tidak daapat kita pungkiri bahwa dalam setiap sesututu terdapat keberaneka ragaman. Suatu negara di dalamnya pasti terapat beraneka ras, suku dan keberanekaan lainnya yang pada akhirnya melahirkan keberanekaan pula dalam berbagi aspek kehidupannya yang lazim disebut multicultural atau keberanekaan kebudayaan. Keberanekaan tersebut dapat berupa keberanekaan pandangan kehidupan, adat kebiasaan, bahasa, bahkan dalam pendidikan.
Suatu wacana yang perlu kita respon secara positif adalah pendidikan multikulturalisme. Sebuah gagasan positif bila pendidikan multikukturalisme dilaksanakanb berangkat dari tujuan umum pendidikan yang notabene bukan hanya sebuah transformasi ilmu pengetahuan, meliankan juga proes internalisasi nilai. Selain itu, pada prinsipnya setiap orang memiliki kebebasan dalm hal pemerolehan ilmu pengetahuan tanpa adanya suatu diskriminasi dan subordinasi suatu golongan tertentu yang mana hgal tersebut dapat tercapai dengan pendidikan multikulturalisme.
Maka dalam makalaj ini pemakalah mencoba kembali membuka ruamg diskusi terkait wacana pendidikan multikulturalisme guna memnadapatkan solusi positif dalam merespon wacana tersebut.






BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pendidikan Multikulturalisme

Hakekat manusia adalah berada dalam ruang kemanusiaan,yang mana tidak lain adalah kebudayaan manusia yang terbentang dalam ruang dan waktu. Tidak ada masyarakat tanpa budaya,sehingga pendidikan dan kebudayaan merupakan kesatuan eksistensial.
Proses pendidikan tidak dapat redusir sebagai proses yang terjadi dalam suatu lembaga sekolah,tetapi sekolah sebagai lembaga social merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Dengan kata lain pendidikan ada bila ditempatkan pada lingkungan kebudayaan suatu masyarakat,dan inilah perspektif studi cultural mengenai pendidikan.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang multicultural maka melalui proses pendidikan itulah akan terwujud,kebenaran ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, keberagaman dalam beragama, etnis, bahasa. budaya, kemampuan, ras dsb.1 Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama, dan budaya(kultur)2. Karena pendidikan ini adalah menghargai heterogeneritas dan pluralitas maka yang terpenting adalah tujuan dalam strategi pembelajarannya siswa mudah mempelajari dan memahami sehingga meningkatkan kesadaran agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis3. Dalam paradigma multicultural dituntut untuk berpegang pada prisip-prinsip berikut:
  1. Pendidikan multilkultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan perspektif pluralistic
  2. Pendidikan multicultural harus berpijak pada pandangan bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah
  3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan kebhinekaan perspektif cultural
  4. Pendidikan multicultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras,kultur, agama.
Tuntutannya kepada pendidik adalah menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multicultural sehingga tidak hanya menguasai dan professional saja. Sehingga diharapkan dengan implementasi ini visi misi dapat tercapai sehingga menjadi generasi yang menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian humanistic dan kejujuran dalam perilaku sehari-hari. Pada akhirnya meminimalisir permasalahan bangsa karena mencetak generasi multicultural yang menghargai perbedaan, selalu menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.
  1. Latar Belakang pendidikan Multikulturalisme
Yang melatar belakangi adanya Pendidikan multicultural adalah keberadaan masyarakat dengan indiviu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku, agama, gender, dan kelas social. Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latarbelakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan(James A. Blank, 1989:14). Dalam konteks Indonesia peerta didik di berbgai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa dan budaya. Asumsi ini di angun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa local, 13000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryo dinata, Dkk 2003) paling tidak keberagaman siswa di embaga-lembaga pendidikan terdapat pada paham keagamaan aviliasi politik tingkat social ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya.
Pendidikan multicultural merupakan gerakan reformasi pendidikan di Amerika yang muncul dan berkembagn berlatar belakang perjuangan hak-hak kaum sipil afro-amerika di tahun 60-an. Perubahan demografi masyarakat populasi imigran memberikan signifikansi ekses pada lembaga pendidikan. Gerakan reformasi pada dunia pendidikan mengupayakan transformsi pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua orang akan menikmati akses yang sama untuk menikmati pendidikan. Secara historis pendidikan multicultural sebagai sebuah konsep pada awalnya sangat bias karena memiliki keterkaitan dengan pejuangan Ham dari kelompok marginal di amerika. Gerakan ini karena diskriminasi social afro-amerika dengan warna kulitnya dan lembaga lainnya salah satunya adalah lembaga pendidikan. Konsep ini menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di jenewa dengan menyeru:
1. Pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima system nilai dalam kebhinekaan pribadi,jenis kelamin,ras,etnis dan kultur.
2.Pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memerkokoh perdamaian,persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat.
3. Pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai.
4. Pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.
Perkembangannya sekarang menyebar ke seluruh Negara yang mempunyai kebhinekaan etnis,ras,budaya dsb termasuk Indonesia. Paradigma multicultural juga tertera pada pasal 4 UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasoinal4, dan juga pada UU Sisdiknas juga menjabarkan tentang tujuan pendidikan multicultural. Ini adalah salah satu bukti bahwa satu concern Indonesia dalam pendidikan multikulturalisme.

  1. Paradigma Pendidikan Multikultural

Berangkat dari paradigma P. Freire yaitu: konservatif, liberal dan kritis yang mempengaruhi proses pendidikan, sehingga paradigma multicultural berangkat dari heterogenitas dan pluralitas yang mampu mengakomodir heterogenitas tsb. Sehingga munculah paradigma, teosentrisme5, kosmosentrisme6, antrosentrisme7. Paradigma sinergitas adalah yang paling kontanibel dalam model pendidikan multicultural karena menggunakan ke tiga paradigma tsb sebagai kesatuan system sudut pandang. Dengan adanya paradigma sinergitas ini maka,seperti parsialisasi, perbedaan etnis,budaya ,bahasa,agama dll dapat dihilangkan dengan bersih. Dengan adanya paradigma ini maka segala bentuk pendidikan yang berbau tidak memanusiakan manusia, seperti eksploitasi pendidikan,kapitalisme pendidikan, komersialisasi pendidikan, kanibalisasi pendidikan dan segala bentuk diskriminasi pendidikan harus ditinggalkan.

  1. Orientasi Pendidikan Multikulturalisme8
Pendidikan mutikulturalisme mencoba mengantisipasi berbagi perbedaan yang ada. Orientasi yang dibangun daqn dipertahankan dalam pendidikan multikulturalisme adalah :
  1. Orientasi kemanusiaan, humanism yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan besifat universal, global, jauh dari sifat ekspliotatif, dominatirf, serta kompetitif yang sebebas-bebasnya.
  2. Orintasi kebersamaan, yaitu nilai koopratif yang sangat mulia dalam masyrakat plural dan heterogen.
  3. Oriantasi kesejahteraan, welfarisme yng merupakan sebuah kondisi yang diharapkan adanya kesadaran diri tanpa ada paksaan.
  4. Orientasi proporsional, aspek ketepatan, tepat landasan tepat proses, dan tepat tujuan.
  5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterognitas.
  6. Orientasi anti hegemoni dan dominasi.

  1. Menuju Pendidikan Islam Mulltikultur
Di era multikulturalisme dan pluralism ini, Pendidikan Islam sedang mendapatkan tantangan karena belum mampu melepaskan peserta didik dari eksklusifitas beragama. Doktrin selalu diajarkan di kelas tanpa dibvarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan Islam sangat ekslusif dan tidak toleran padhal di era pluralism dan multikulturalisme ini pendidikan Islam semestinya melakukan reorientasi filosofis paradigmatic tentang bafaiman membentuk kesadaran peserta didiknya bewajah inklusif dan toleran.
Kondisi pendidkan islam yang cenderumg eksklusif ini seringkali melahirkan Islam radikal yang cenderung agresif terhadap pihak lain yang kadang kadang scara tidak langsung merugikan Islam sendiri. Oleh karena itu, tugas berat bagi kit menyiapkan generasi umat yang bebas dari konflik dan kekerasan. Dan disinilah pendidikan dianggap sebagai instumen penting dalam menyiapkan generasi umat bergama yang bebas konflik.

























BAB III
PENUTUP

Sebagai penutup makalah ini, pemakalah akan menarik kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah didpaparkan. Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Heterogenitas dan multicultural merupakan sunatullah yang perlu kita respon secara positif, termasuk pula pendidikan multikulturalisme.
  2. Memformat kembali pendidikan Islam merupakan tugas kita, terutama terkait isu pendidikan multicultural ini karena kesalahan dalam mengkonsep pendidikan akan melahirkan output pendidikan yang tidak benar pula.
Demikian kesimpulan yamg dapat ditark dari seluruh penjelasan yang dipaparkan. Akhirnya pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari baik, maka pemakalah selalu terbuka menerima saran dan kritik dari pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
  • PRESMA UIN Sunan Kalijaga. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Arr Ruzz
  • UU No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional

  • Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan multicultural cross-kultural untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta

  • H.A.R. Tilaar.2004.Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari Perspektif Study Kultural,Magelang :Indonesia Sejahtera

  • Masour Fakih dkk.2001.Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis,




1 M. Ainul yakin,Pendidikan multicultural cross-kultural untuk demokrasi dan keadilan(2005,Yogyakarta),hal 4

2 Prudence Crandall(1803-1890) pakar pendidikan amerika serikat

3 Ibid no 1

4 Lihat isi dari UU No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional

5 Yaitu sudut pandang tuhan, dalam melihat hakikat alam senantiasa menggunakan dogma dan dogtrin teks kitap suci sebagai acuan utama

6 Pandangan alam, dalam melihat hakikat alam,asal-usul,berbagai proses dan masa depan senantiasa mengacu pada hokum yang telah terbukti terkadung di dalamnya

7 Sudut pandang manusia, dalam melihat alam ditinjau dari eksistensi,kebutuhan,dimensi dan kesadaran manusia itu sendiri

8 PRESMA UIN Sunan Kalijaga. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi.Yogyakarta: Arr Ruzz hlm.275-276.