makalah filsafat ilmu (etika dalam ilmu)

Senin, 28 Desember 2009

BAB I
PENDAHULUAN
Etika sangat penting bagi pengembangan ilmu, apapun disiplinnya. Tanpa mempertimbangkan tujuan untuk kehidupan kemanusiaan dan keberlangsungan lingkungan hidup baik hayati maupun non hayati adalah pembunuhan diri eksistensi manusia. Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan aksiologi. Aksiologi itu sendiri ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistimologi.
    Diberbagai media massa banyak membicarakan tentang teroris yang melakukan serangkaian pemboman di berbagai tempat di Indonesia. Di balik bom teroris tersebut ternyata menyisakan suatu masalah bahwa pemahaman keagamaan yang tidak didialogkan dengan permasalahan-permasalahan yang sudah ada sebelumya dan tidak dikomunikasikan dengan ilmuwan agama lainnya ternyata bisa menimbulkan korban manusia-manusia tak bersalah. Contoh diatas merupakan salah satu problem etika dalam ilmu. Dalam makalah ini saya akan sedikit menjelaskan tentang
Ø    Apakah problem etika dalam ilmu?
Ø    Apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai?  
BAB II
PEMBAHASAN

1.    Etika ilmu: Problem Nilai dalam Ilmu
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan aksiologi. Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar, apa yang harus manusia ikuti dan apa yang baik bagi manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksanaanya tidak ditunjuk.
Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang paling menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, manjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi yang akan datang, serta bersifat universal, karena hakikat ilmu adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya di kerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya.
Jadi tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia, tetapi juga mrupakan hasil perkembangan dan kreatifitas manusia itu sendiri.
Dalam diskusi tentang ilmu dan etika muncul perdebatan yang panjang antara pandangan yang memegangi bahwa ilmu adalah bebas nilali dan pandangan yang mengatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Berikut ini di jelaskan maksud kedua pandangan tersebut.
2.    Ilmu: Bebas nilai atau Tidak Bebas Nilai
a.    Bebas Nilai
Aliran ini memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti pada waktu Galileo. Menurut aliran ilmu bebas nilai atau value free pembatasan-pembatasan etis hanya kan membatasi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai sebagaimana Situmorang menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar di dasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurutnya ada tiga factor sebagai indikator bahwa pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
Ø    Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti factor politis, idiologis, agama, budaya, dan unsure kemasyarakatan lainnya
Ø    Perlunya kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri
Ø    Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karean nilai etis itu sendiri bersifat universal
Dalam pandangan ilmu bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi di benarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekspresi seni yang menonjolkan pornoaksi dan pornografi adalah sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni. 
b.    Tidak Bebas Nilai
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai memandang bahwa ilmu itu selalu terkait denagn nilai dan harus di kembangkan dengan pertimbangan aspek nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, baik politis, ekonomis, sosial, religious, dsb.
Jurgen habermas berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia membedakan tiga ilmu dengan kepentingan masing-masing
Ø    Ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris dan analitis, ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam yang bekerja secar aempiris dan menyajikan hasil penyelidikan itu untuk kepentingan-kepentingan manusia.
Ø    Pengetahuan yang mempunyai pola yang sangant berlainan sebab tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial.
Ø    Teori kritis yang membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri.
Jelas sekali dalam pandangan habermas bahwa ilmu itu sendiri di kontruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia denagn alam, manusia denagn manusia, dan nilai penghormatan terhadap manusia.
Problem ilmu bebas nilai atau tidak bebas nilai sebenarnya menunjukkan suatu hubungan antara ilmu dan etika. Dapat pendapat yang mengatakan bahwa ada tiga pandangan tentang hubungan ilmu dan etika.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa ilmu merupakan suatu system yang saling berhubungan dan konsisten dari ungkapan-ungkapan yang sifat bermakna atau tidak maknanya dapat ditentukan. Ilmu dipandang semata-mata sebagai aktivitas ilmiah, logis, dan berbicara tentang fakta semata.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa etika dapat berperan dalam tingkah laku ilmuwan, seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Dengan kata lian memang ada tanggung jawab dalam diri ilmuwan, namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri tidak ada petunjuk etis yang dipertanggung jawabkan.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama iolmu adalah untuk kemaslahatan umat manusia.
Berlainan dengan etika ilmu lebih menekankan pentingnya obyektivitas kebenaran, bukan nilai. Yang terpenting dalam ilmu bukanlah nilai melainkan kebenaran. Namuan demikian dalam aspek penggunaan atau penerapan ilmu untuk kepentingan kehidupan manusia dan ekologi, etika memiliki peran yang sangant menentukan tidak hanya bagi pengembangan ilmu selanjutnya tetapi juga bagi keberlangsungan eksistensi manusia.
Etika dengan demikian lebih merupakan suatu dimensi pertanggung jawabab moral dari ilmu. Apabila diperhatikan dengan seksama. Sebenarnya berpihaknya ilmu pada etika bukan berarti menghambat laju pengembangan ilmu. Karena pertanggungjawaban etis dari ilmu lebih bermakna pada keberlangsungan eksistensi manusia. Jika hal ini terjadi ancaman eksistensi manusia dan kerusakan ekologi bisa mudah terjadi dan oleh karenanya pengembangan ilmu juga akan terganggu.
3.    Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan

     Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
     Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.  
     Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
     Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.
     Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya




        BAB III
    PENUTUP

Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran. Dari makalah yang telah saya jelaskan tadi kita dapat mengetahui bahwa etika itu sangat penting bagi pengembangan ilmu.
Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika pengembangan ilmu tidak dibarengi dengan etika maka bayangkanlah risiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada jenderal-jenderal yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus. Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.
Dengan belajar etika diharapkan kita dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa yang baik menurut suatu teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah etika.


DAFTAR PUSTAKA

Ø    Surajiyo.2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Ø    Bahri Ghazali, Usman, dan Alim. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA
Ø   
Ø    Muntasyir, Rizal, dan Misnal Munir. 2000.Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





Rabu, 23 Desember 2009

PENDIDIKAN SEBAGAI TRANSFORMASI BUDAYA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen pembimbing : Ibu Istininingsih




Disusun oleh

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan sangat penting bagi kita, karena melalui pendidikan kita bisa mengetahui baik, buruk, dan melalui pendidikan juga kita mengenal budaya. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Karena antara pendidikan dan budaya terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama ialah nilai-nilai. Kebudayaan mempunyai tiga unsure penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan, kebudayaan suatu proses, dan kebudayaan yang mempunyai visi tertentu maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses pembudayaan. Dengan demikian tidaka ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tidak ada suatu pendidikan tanpa kebudayaan dan masyarakat. Oleh karena alasan-alasan tadi pemakalah ingin mengetahui:
Bagaimana pendidikan di jadikan sebagai alat transformasi budaya?
BAB II
PEMBAHASAN
I. Hakikat Pendidikan dan Kebudayaan
Hakikat budaya di kategorikan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan epistimologis dan pendekatan ontology atau metafisik. Pendekatan tentang hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Pendidikan itu bukan hanya suatu kata benda tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja.
Menurut Edward B. Tylor, “budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan merupakan suatu proses permanusiaan artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi,. Proses pendidik sebagai suatu proses kebudayaan haruslah melihat peserta didika suatu entity yang terpecah-pecah tetapi sebagai individu yang menyeluruh atau sebagai seorang manusia seutuhnya.
Budaya dicapai manusia melalui proses panjang, melalui pendidikan, melalui sosialisasi sehingga diperoleh internalisasi nilai yang menjadikan sesuatu nilai itu menjadi satu dengan dirinya, menjadi cara berfikirnya, menjadi kebiasaannya, menjadi miliknya yang diaktualisasi secara spontan dalam kehidupan nyata.

II. Budaya dalam pendidikan
a. Wawasan budaya dalam pendidikan
Wawasan budaya dari pembangunan kita adalah
1. Budaya adalah dari dan untuk manusia
2. Dengan budaya manusia membangun masyarakat dan lingkungan
3. Dengan budaya manusia membangun pendidikan
4. Pendidikan melalui budaya terjadi secara kontekstual
5. Pendidiakan melalui budaya terjadi melalui proses
6. Membenagun manusia melalui budaya harus melibatkan fisik, akal dan hati
7. Membangun manusia melalui budaya, maka nilai-nilai budaya itu harus menyatu dengan dirinya manjadi nuansa batinnya, manjadi sikap dan perilakunya serta yang menjadi dasar cara berfikirnya
8. Pembangunan melalui kebudayaan berarti berkelanjutan yang bersifat konvergen
b. Pendidikan dan Proses transformasi Budaya
Pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak dapat dipisahkan. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
Untuk membangun manusia melalui budaya maka nilai-nilai budaya itu harus menjadi satu dengan dirinya, untuk itu diperlukan waktu panjang untuk transformasi budaya. Proses transformasi budaya dapat dilakukan dengan cara mengenalkan budaya, memasukkan aspek budaya dalam proses pembelajaran. Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan maka tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional saja, tetapi juga seluruh unsure kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Progam pendidikan berbudaya dapat diwujudkan secara efektif di dalam system pondok. System pondok merupakan sarana untuk mempersatukan pendidikan ilmu pengetahuan dengan pendidikan budaya budi pekerti serta nilai-nilai budaya lainnya. Pelaksanaan system pondok jjuga dapat berarti mengembangkan kondisi dan suasana kepondokan di dalam praksis pendidikan. Khusus guru system pondok tersebut mungkin merupakan suatu tuntutan. Dengan system tersebut calon pendidikan akan menghayati suatu tuntutan. Dengan system tersebut para calon pendidik akan dapat melaksankan prinsip-prinsip kebudayaan di dalam praksis pendidikan.

IV. Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan (enkulturasi).
Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya yang diperoleh selama proses belajar sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari.
Jika kita ingin memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak kebudayaan sendiri, malahan menghianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Nilai-nilai pendidikan ditransmisikan dengan proses-proses “acquiring” melalui “inquiring”. Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau untuk determined tetapi melalui proses interaktif antara pendidikan dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya.
Ada pakar yang menganggap bahwa antara kebudayaan dan pendidikan saling berpengaruh artinya yaitu bahwa manusia yang berpendidikan adalah sama dengan orang yang berbudaya.
Dengan budaya proses pendidikan juga akan lebih mudah karena mempelajari budaya dapat menumbuhkan kesadaran etik, kesusialaan, dan norma hokum. Jadi peserta didik akan lebih mudah menerima karena mereka mempunyai kesadaran untuk mengikuti proses pendidikan dengan tulus tanpa perlu dipaksaan.
IV. Proses Pembudayaan melalui PendidikanFormal
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together).


BAB III
PENUTUP
Setelah tadi penulis menguraikan penjelasan tentang pendidikan sebagai atransformasi budaya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan sangat penting bagi pentransferan budaya. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Manusia yang tidak mengenal budaya sama saja tidak mengenal bangsanya sendiri. Oleh karena itu kita harus melestarikan dan menjaga budaya dengan cara dalam proses pendidikan di masukkan unsure-unsur budaya. Jadi marilah kita memasukkan unsure-unsur budaya dalam proses pendidikan agar out put dari pendidikan tidak hanya pengetahuan saja tapi siap untuk hidup dalam masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

 Djohar. 2006. Pengembangan pendidikan nasional menyongsong masa depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah
 Mulkhan, A. Munir. 2002. Nalar spiritual pendidikan solusi problem filosofis pendidikan agama islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
 Tilaar. 2002. Pendidikan kebudayaan dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Ofset
 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/17/khazanah/lainnya01.htm
 http://www.semipalar.net/artikel/artikel27.html
 http://cabiklunik.blogspot.com/2009/11/apresiasi-pendidikan-sebagai-strategi.html

.